Peluh mengucur dari tubuh. Pakaian telah basah oleh keringat yang terus diperah oleh udara nan panas. Nampaknya bumi semakin hari semakin tua, semakin hari semakin panas. Apa yang dulu di katakana global warming ternyata masih terus terjadi, dan sekarang mulai terasa.
Menghilangakan gerah dan menghindari dehidrasi, rasanya nikmat sekali jika tengorokan diguyur dengan minuman dingin. Tak susah untuk menemukan minuman semacam itu. Banyak berjejer di kulkas-kulkas mini market yang makin hari makin menjamur. Dari minuman karbonasi, kopi, bahkan hingga air mineral yang dahulunya di setiap rumah mempunyai sendiri.
Aku sengaja memilih agak lama. Biar sekalian ngadem di dalam mini market. Kesejukan dari mesin-mesin AC sungguh dapat membantu manusia untuk bersembunyi dari panasnya udara di luar. Aku ambil sebuah minuman yougurt dari dalam kulkas di salahsatu minimarket. Selain dari minuman yougurt, aku mengambil sebuah es krim contong hitam dengan taburan kacang.
Baca juga : Sawah Beton
Sinau Bareng Caknun, Sujiwo Tejo dan Kiai Knjeng (Semar Resto Boyolali, 21 April 2022)
Sempat dulu aku memakan es krim ini di sebuah lereng gunung merbabu dengan seseorang. Memakan es krim, sambil bercerita mengenai masa depan, dan sesekali kita di tertawakan oleh gumpalan mendung tipis di langit. Kali ini, aku akan kesana lagi. Namun kali ini aku sendiri, ingin berjumpa dengan seseorang teman lama.
Rerimbunan tanaman tembakau yang mulai menghijau yang diselingi juga dengan pohon-pohon besar menyambut kiri dan kanan. Nuasa gunung mulai terasa. Seorang petani tembakau tengah matun, menyingkirkan gulma yang menggangu tanaman tembakaunya. Sang istri di pinggir kebun memncari rumput untuk makan ternaknya nanti. Pemandangan yang syahdu, pantas saja orang-orang yang tinggal di desa begitu sehat dan bahagia. Alam sungguh telah memberikan apa yang ia punya untuk di manfaatkan oleh manusia.
Bertemu seorang teman lama, membuatku merindukan masa kecilku dulu bersamanya. bernostalgia kita naik ke hutan. Banyak pohon-phon besar, dengan diselingi oleh semak-semak.
“Ko, sungai yang dulu mengalir kok sekarang tak lagi ada airnya? Asat taka da air, sudah seperti jurang.” Tanyaku heran kepada Joko.
“Sungai ini tengah menjadi sumber air oleh sebuah perusahaan air kemasan. Mereka mengambil bahan baku dari sini, dan sisanya dibagikan ke warga dengan pipa-pipa.” Jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
Tangis semakin pecah tatkala ia menceritakan bagaimana sebenarnya pohon-pohon yang secara kasat mata besar ini, sebenarnya tak ubahnya tinggal balung sama kulit saja. Air yang pohon-pohon ini kumpulkan tak lagi diserap oleh tanah yang ia pijaki. Lebih terserap oleh mesin-mesin yang kemudian menjadi air kemasan.
Layaknya sapi perah, induknya kelihatannya subur-subur. Susunya banyak, di perah setiap hari, setiap pagi dan sore. Namun, anak sapi, dibatasi untuk meminumnya. Dikasih susu setelah sang pemilik memerah susu untuk di jual. Tak ayal, terkadang asupan susu untuk sanak sapikurang, dan membuat anak sapi kurus.
Dari cerita Joko barulah aku paham. Terkadang kita tidak menyadari jika kita masih berada dalam lingkaran. Kita akan sadar ketika itu lingkaran jika kita meihat dari luar lingkaran. Konsumsi air berbotol, entah apapun bentuknya semakin hari semakin besar, terutama di kota. Dan yang di sumber, harus berebut air, antara tanaman, manusia dan air kemasan itu.
Apakah orang kota memerah orang desa? Tidak jugakan? Air merupakan sumber kehidupan kata Thales, seorang filosof Yunani Kuno. Namun kita juga perlu belajar dan berusaha untuk menjadi seorang filosof, untuk bijak. Bijak dalam menyikapi serta memanfaatkan sumberdaya layaknya seorang filosof, agar yin dan yang selalu seimbang.
0 Komentar