Sawah Beton


Gambar :picuki.com

Pagi ini setelah selesai mengawali libur dengan menyapu rumah dan mencuci mobil, secangkir kopi tersaji dalam gelas di atas meja. Aku sruput untuk menikmati rasa kopi. Lelah terbayarkan dengan rasa kopi yang pas mantab, sesuai selera. Burung-burung emprit yang mencuri butir-butir padi bertebangan dihalau bapak petani. Suasana desa yang masih asri dengan beberapa hamparan sawah yang semakin hari samkin sempit berganti beton.

Teras rumah dengan pemandangan sawah memanglah pas untuk menyudahi penat setelah seminggu berkutat dengan urusan-urusan kantor. Ku buka koran langganan yang telah menunggu di meja sedari tadi. Baru juga aku membuka lipatan koran, harum pisang goreng menggerayangi hidungku. Istri tercinta membawa pisang goreng dari dapur untuk teman ngopi pagi ini.

“Mas, ini aku buatin pisang goreng buat kamu.” Ucap istriku yang belum mandi tapi tetap cantik.

“Iya dek makasih. Mas ndak salah pilih ini berarti.”. jawabku dengan mengacungkan jempol.

“Tapi aku minta talong beliin garam, garamnya habis.” Sambal nyengir dia minta tolong

“Hmm, ternyata ada maunya. Okelah, tapi aku makan satu dulu ya dek.”

Habis satu pisang goreng, aku berangkat ke warung di ujung gang. Jalan kaki sambil jalan-jalan. Melintasi beberawa petak sawah yang diselingi dengan perumahan tetangga. “Berjalanlah kamu dan lihatlah sekelilingmu amati perubahan di sekitarmu.” Begitulah kurang lebihnya kiranya yang aku ingat dari sebuah surah atau hadis yang aku lupa tepatnya.

Sebuah bola menggelinding mengenai kakiku, buyar lamunanku yang tengah mengingat-ingat surah apa hadis sudah tepat seperti itu tidak?

“Om, minta tolong bolanya.” Ucap Ucup tetangga samping rumahku.

“Weh, cup. Sekarang pindah disini kamu mainnya?” tanyaku basa-basi sambil menendang bola kearahnya.

Dulu anak-anak ini sering bermain di samping rumahku, tepatnya di sebelah kiri rumah. Kalua di sebelah kanan rumahku adalah rumah Ucup, di sebelah kiri dahulu adalah lahan kosong milik Pak Bahri yang sering di buat anak-anak ini bermain. Sekarang lahan itu tengah di bangun pondasi, katanya mau dibuat rumah untuk anaknya yang bulan lalu menikah. Ya syukurlah mereka dapat pengganti tempat bermain.

Baca juga : Air Mata Gunung

Dan terlebih lagi, mereka tidak lagi ketakutan mengenai kejadian beberapa hari lalu. Ular cobra yang terusik habitatnya mencoba merebut kembali tempat tinggalnya. Mereka mencoba merebut kembali tempat berburu mereka yang sekarang telah menjadi beton. Kemarin sempat heboh satu RW gara-gara ular ini. Sampai-sampai istriku yang bekerja di rumah sakit aku suruh berjaga-jaga anti racun, meskipun istriku bukan seorang dokter atau apoteker. Syukurnya terror dari sang raja ular ini bisa diatasi tanpa memakan korban jiwa.

“Bu minta garam.” Pintaku ke Bu Lastri, pemilik took.

“Bentar ya mas, aku siapin dulu beras untuk Bu Yuli.” Bilang Bu Lastri

Bu Yuli perasaan dulu seorang petani padi, yang sawahnya di belakang rumah. Bekas sawah ini di bangun rumah, namun bukan oleh keluarganya. Katanya sawah itu dijual untuk biaya kuliah anaknya. Bu yuli yang dahulu tidak perlu membeli beras, sekarang dia membeli ke took Bu Lastri. Entah pula beras ini berasal dari mana? Dan apakah di waktu depan masih juga datang beras dari tempat-tempat produksi beras? Ataukan digantikan dengan beton? Disadari atau tidak disadari, ternyata banyak sekali hal yang berubah disekitar kita.

Garam telah di tangan, kulangkahkan kaki menuju istana. Mungkin aku tak akan perlu risau tentang bagaimana nanti jika beras tak lagi ada tempat untuk ditanam. Karna kebetulan istriku ini ahli gizi, ya mungkin dia bakal tau makanan-makanan pengganti yang lebih sehat dan enak. Tinggal lidah saja yang dipercepat menyesuaikan.

Posting Komentar

0 Komentar