Angkringan Terminal Boyolali

Angkringan memang selalu menarik di kawasan Soloraya. Berjejer jejer di setiap meternya, dengan ke khasan masing-masing. Tak terkecuali di kota susu di bawah lereng merapi yang bersebelahan dengan merbabu. Suasana dingin yang sangat mendukung untuk sekedar mencari kehangatan dari secangkir susu jahe ataupun obrolan ringan dengan masyarakat.

Pertama kalinya terminal malam ini nampak seperti kuburan. Tak ada bising mesin motor, tak ada lagi tukang ojek yang berteriak dan berlarian mencari penumpang. Yang ada hanyalah hembusan angin yang menusuk badan.

“Mas No, Susu Jahe siji.” Pintaku kepada penjual amgkringan. “Oke boy.” Jawab kang No yang selalu ramah kepada pelanggannya. Tapi ada satu kecurigaanku kepadanya, kelihatanya dia ini pekerjaan aslinya adalah mata-mata. Kecurigaanku muncul ketika pertama kali aku beli nasi kucing di angkringan ini. Belum sempat aku mengucapkan menu, dia sudah tau namaku, padahal baru kali ini aku jajan di angkringan ini. Dan dia tau semua berita-berita terhangat, bahkan gosip murahan yang sengaja di buat emak-emak sekitar, hal inilah yang membuat saya curiga.

Mendoan, tahu goreng, tempe goreng, sate kulit, sate telur pyuh dan tak lupa nasi kucing khas angkringan tersaji di meja. Mendoan di tangan kananku, dan cabe rawit di tangan kiriku. Aku kunyah sembari menanti susu jahe yang tengah di bakar jahenya, yang aromanya sudah sampai ke hidung, nikmat sekali rasanya.

“No, teh anget siji.” Pinta Kang tul salah seorang tukang ojek di pangkalan sebelah amgkringan No. “Ko belum pindah pos kang?” tanya no kepada kang tul. “Ini baru proses pembicaraan dengan pangkalan ojek yang sudah dulu ada sebelum terminal dibangun.”

Susu jahe telah hadir di depan mata, aku sruput perlahan. Aku sempat mendengar bahwa pemindahan terminal ini ke termnal baru ada ketidak setujuan, terutama dari masyarakat terminal. Dimana terminal ini merupakan tonggak utama ekonomi mereka. Terminal di pindahkan yang katanya terkait dengan penataan kota.

Entah apa yang di tata, konon menurut kabar burung. Bekas terminal ini akan di jadikan mall, ada juga yang bilang akan di bangun sebuah taman. Atau akan tetap menjadi terminal lama, yang mangkrak. Kita tunggu saja apa yang akan di buat di bekas terminal yang pernah menopang transportasi serta menopang ekonomi rakyat kecil ini.

Aku membuka satu nasi kucing, makanan enak yang berisi nasi, sambal dan bandeng ini lekat sekali dengan rakyat kecil. Dilemanya makan nasi kucing adalah makan satu kurang, makan dua kekenyangan.

Bus Solo-Semarang berhenti di depan angkringan, salah seorang turundan kemudian masuk ke angkringan. “Mas teh anget satu.” Ia meminta segelas teh, sembari menunggu jemputan. “Dari mana mas?” tanya no basa-basi.

Bapak ini ternyata dari Semarang. Ngobrol nyeletuk, ternyata di terminal baru masih sepi, tak seperti dahulu disini. Benyak penumpang yang masih turun di terminal laam ini. Kalau kata temanku, karna sebenarnya terminal ini sudah strategis, karena mendapat tiga jalur sekaligus. Lingkar selatan, lingkar utara serta jalan melewati kota.

Bagi orang-orang kecil yang mengais rejeki dari tempat ini, pemindahan ke terminal baru merupakan goncangan ekonomi yang cukup kuat bagi mereka. Mereka harus kuat untuk bertahan hingga roda ekonomi di terminal baru berjalan dengan lancar.

Sayangnya dari beberapa minggu yang telah terlewati agaknya kesempurnaan roda ekonomi tidak akan secepat yang diharapkan. Ini akan menimbulkan dua kemungkinan. Warga terminal yang tereliminasi jika tidak bisa bertahan, dan warga yang bisa survive dalam menjalankan ekonomi dari terminal.

Aku ambil sate kulit, untuk lauk makan nasi kucingku. Kali ini nasi kedua yang aku lahap, setelah sebelumnya satu aku makan namun perut masih ada rongga sedikit. Atau mungkin memang lidahku yang masih ingin menikmati lezatnya nasi kucing ini.

“Temen-temen yang di kios kemarin juga bilang kalau tempat baru ukurannya lebih kecil dari kios-kios disini.” Kata no, menambahi. Obrolan semakin larut semakin asik saja. Entah bagaimana persisnya bagaimana terminal baru ini di uat, dan kenapa ukuran kios bisa lebih kecul. Dan bahkan kalau untuk jualan tak layak, karna terlalu sempit. Belum lagi ketika hujan dan angin kencang, kelihatannya akan sampai masuk ke kios.

Saya yang masih belajar ini masih mencari-cari, bagaimana studi kelayakan, dan kebijakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang diangkat dari rakyat ini. Apakah sampai ke akar permasalahan, atau sebatas bagaimana tertatanya bangunan kota? Mereka mungkin telah mempersiapkan tempat pengganti, juga telah memberikan pemberitahuan jauh-jauh hari. Dan meminta kesepahaman hitam di atas putih, yang mungkin teman-teman pedagang membubuhkan tinta tanpa mebaca atau memahaminya terlebih dahulu. Juga apakah telah menimbang dan memperhitungkan nasib-nasib rakyat kecil yang minim modal?

Jika bermodal mungkin tak akan susah payah. Tinggal cari ruko atau kios yang strategis. Atau orang yang mungkin punya tabungan, tabungan mereka bisa digunakan untuk menopang ekonomi sementara hingga sumber ekonominya kembali lancar seperti saat sebelum terminal ini pindah.

Datang satu orang lagi, namanya doman. “Tumben nek kene, gus.” Tanyanya kepadaku. Iya, kebetulan pulang ngampus laper, terus makan disini.” Jawabku sambil menghabiskan susu jahe. Tak berselang lama aku membayar, tak kuat dengan kantuk dan lelah setelah seharian ada kegiatan di kampus.

Posting Komentar

0 Komentar