Sebuah Ingus di dalam Bus
Alamdullla, apa yang aku usakan selama beberapa tahun telah terwujud. Tinggal langkah penentuan, apakah aku bisa terserap di dunia kerja atau aku akan membuat lapangan kerja sendiri. Dan kali ini adalah usahaku yang pertama, mengajukan pendaftaran kesebuah lembaga penelitian di suatu instansi pemerntah. Hari ini aku berangkat ke Semarang untuk melakukan tes masuk kerja.
Awan hitam telah terlihat sedari petang hinnga menjelang subuh. Sang surya teralang oleh kumpulan awan hitam. Seolah kamar adalah tempat ternyaman untuk hari ini dan membuat enggan membuka mata. Aku tersadar dari tidur karena bisikan dari pengeras suara masjd yang berada beberpa petak dari rumah, “Assalatu khairum minannaum”. Aku membuka mata, sembari mngucek mata agar kesadaran segera datang.
Jika biasanya aku langsung ke kamar mandi, kali ini aku beranjak ke tempat wudlu. Sudah adzan kalau mandi dulu tak akan sempat berjamaah di masjd alibiku, kenyataan sebenarnya karna aku malas mandi setidaknya ini akan menunda waktu mandi sampai habis shalat subuh. Aku meminta keteguhan iman setelah sholatku. Memunajatkan keresaan-keresaan dalam hidupku, dan memohon semua apa yang aku inginkan. Meskipun aku tahu aku tak pantas untuk memohon.
Aku berikan sedikit bocoran salah satu doaku pagi ini. Aku memnta sepulang dari masjid ini, sang surya sudah terlihat dan dingin pun hilang. Namun doaku ini belum terkabulkan, yang kemudian memaksa aku untuk mandi dan bercengkrama lebih erat dengan dingin. Namun hal ini aku syukuri, karna dengan ini aku bisa sedikit bersemangat dan bisa berteman baik dengan dingin.
Berkas telah aku siapkan dari semalam, semua tertata rapi dalam tas ransel berwarna hitam. Jika melihat tas ini aku teringat ketika masa perjuangan tahap awal. Tas ini telah setia menemani “kencan” dengan dosen sambil mendalami teori dan segudang revsi. “Makan dulu, aku sudah belikan bubur buat kamu.” Kata nenek yang setap hari mengurusku ketika aku tengah memakai sepatu. Kutengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah mepet kalau harus makan dulu, namun karna aku juga tak mau nenek kecewa maka aku makan dulu. Baru setelah makan aku berpamitan dan membisikkan di samping telinganya “doakan ya nek.” Sambil berlalu untuk mengejar waktu.
Aku merasa beruntung pagi ini, tak berapa lama aku menunggu d halte, bus tujuan Semarang datang. Bus mulai berjalan meninggalkan kota menuju Semarang dengan diiringi oleh rintik hujan. Kelihatannya awan hitam sudah tak kuasa lagi menahan butiran-butiran air. Atau mungkn juga tak enak dengan mentari yang sedari tadi ia halang untuk bertemu dengan bum. Aku tak tau pasti apa alasannya.
Suasana syahdu ini menyeretku kedalam memory beberapa waktu silam. Kala itu aku di halte dekat pasar, aku tengah menunggu seorang. Sudah lama aku duduk di halte bus ditemani seorang penjual koran. Beberapa kali ibu-ibu naik-turun dari angkot. Aku tau dia akan datang agak siang, dia sudah membicarakan ini tadi malam lewat pesan singkat. Paginya ia masih sibuk untuk membantu orang tuanya.
Aku sengaja berangkat lebih awal, karena aku tak suka membuat orang menunggu apalagi perempuan. Aku berusaha untuk komitmen dengan waktu dan menghargai orang lain. Hari ini adalah hari terakhir untuk mengetahui apakah aku melanjutkan di sekolah mana. Sebetulnya aku sudah aman, karna aku ada sekolah cadangan di salah satu sekolah swata. Aku lebih memilih menemani dia yang masih belum psati. Sejujurnya dia selain rajin, dia juga pandai. Selalu berada di peringkat atas setiap semesternya. Namun di akhir dia sedikit terpeleset, dan aku merasa sedikit banyak aku merasa karena aku. Aku seperti memperberat langkahnya, karna kualitas diri yang pas-pasan dan selalu merepotkannya.
“Hai, kamu tu rajin banget. Udah di bilang agak siangan.” Sapa dia ketika sampai di halte. “Aku juga baeru saja datang kok.” Bohongku kepadanya. Bus yang kami tunggu telah datang, kebetulan pagi itu bus tak terlalu ramai. Banyak bangku kosong, sehingga bisa memilih duduk di sebelah mana. Kami duduk di urutan bangku kedua. Baru saja kami duduk, tak sengaja aku memegang ingus orang yang di buang di bangku depan.
Ya allah, keberuntungan apa yang aku dapat hingga memegang sesuatu yang menjijikkan dan penuh dengan bakteri. Sinta tertawa melihatku kena ingus, dan kemudian mengajak aku pindah tempat duduk. Dikeluarkannya air mineral yang ia bawa dari rumah untuk di pakai cuci tangan dan air di buang lewat jendela. Ia juga mengeluarkan antiseptik yang selalu ia gunakan sebelum makan. Meskipun telah mencuci tangan dan menggunakan antiseptik aku masih merasa jijik. Dan Sinta masih menertawakanku atas kejadian ini.
“Mungkin pengalaman ini tak akan terlupakan” celetuknya tiba-tiba. Kami berbicara tentang sekolah lanjutan. Kita berbicara kemungkinan karir dan beberapa hal rremeh temeh. Dia berpesan kepadaku, niatkan semua perbaikan ini untuk Allah dan untuk dirimu sendiri jangan untuk orang lain, apalagi aku. Kita tidak akan tahhu kedepan seperti apa, yang bisa kita lakukan adalah melakukan hal yang terbaik.
Dan aku terbangunkan dari tidur selama perjalanan dari desa ke Semarang oleh suara pengamen. Udara telah berbeda dari yang semula dingin menjadi panas khas kota Semarang. Tak lama berselang aku turun dari bus. Dan mempersiapkan yang terbaik untuk proses recruitment ini sebaik mungkin.
Baca selanjutnya Sarjana Merah Muda Eps 2
0 Komentar