Mentari
mulai mengintip dari ufuk timur. Siulan atau yang sering disebut Kekean lovebird bersahut-sahutan
menyambut sang surya. Aku mendengarkan dan mengamati kekean-kekean itu, sambil sesekali belajar untuk berkekek. Siapa yang tak mau jadi
primadona di lapangan gantang, dengan puluhan orang bersorak dan kalau bisa
juara nilai jual akan tinggi. Diberikan perawatan yang istimewa nan mewah pula.
Itu adalah mimpiku dan harapanku. Namun disisi lain aku juga sadar diri, siapa
diriku. Seekor burung lovebird berwarna hitam yang lahir dari telur yang di
kira tak akan menetas, sudah hampir di buang, namun semesta masih menginginkanku
untuk mengisi dunia. Jikalaupun kekekan
panjang merupakan faktor keturunan mungkin orang tuaku tak akan menurunkannya
kepadaku, karena merekapun tak mempunyai itu, demikian pula dengan warna.
Aku
meminum air yang berada di samping kotak makan, tak jauh dari glodok tempatku
tidur. Minum air putih bangun tidur katanya baik untuk kesehatan, membersihkan
saluran pencernaan dan melancarkan pencernaan. Selesai minum ku masukkan mukaku
kedalam kotak air, dan kualirkan ketubuh. Segar rasanya, energi semangat
mengalir dalam darah serta sinar mentari yang sudah bergerak sedikit ke atas
membakar api semangatku.
Jika
boleh jujur, sebenarnya bukan air ataupun sinar mentari yang membuat energi
kembali mengalir, tetapi sebuah rasa dari dalam diri. Kenyamanan, ketulusan,
kebahagiaan, yang timbul dari hati. Entah sejak kapan rasa itu muncul, namun
itu tak lepas dari seekor burung yang mengetuk dalam hati. Dia datang terbang
dari petualangannya mencari seekor yang sekiranya ia ingin ketuk. Entah dengan
alasan apa ia membuka pintu hati yang sangat gersang.
Kering
hati dalam diri ini bukan terjadi secara tiba-tiba. Hati ini yang mulanya berisi penuh dengan kasih
sayang. Perlahan-lahan surut karena banyak kebocoran. Burung-burung lovebird
yang aku sayangi, yang aku kasihi perlahan-lahan seekor demi seekor terbang
meninggalkanku. Diawali oleh ibuku, sumber kesejukan yang pertama untukku.
Beliau sangat sayang kepadaku. Sejak saat aku masih di dalam cangkang telur aku
sangat senang mendengar cerita beliu, senandung beliau untukku.
Pagi
itu beliau pergi mencari makan untukku. Layaknya kehidupan seekor burung,
ketika ibuku mencari makan maka ayahku menjagaku di dalam glodok. Dan setelah
ibu kembali, ayah akan terbang mencari makan. Mereka akan bergantian mencarikan
makan untukku yang masih belum bisa membuka mata. Setiap hari seperti ini,
kedua orang tuaku akan bergantian mencari makan untukku. Aku ingat, waktu itu
adalah hari kedua aku bisa membuka mata. Melihat kayu berbentuk kubus dengan
lubang sebagai pintu yang mempunyai lebar delapan centimeter, lebar sepuluh
centimeter dan tinggi duabelas centimeter, penangkar menyebutnya glodok. Hari
itu adalah hari terakhirku bisa melihat malaikat yang kusebut ibu.
Seperti
hari biasa, pagi hari ibuku terbang
mencari makan. Meskipun kami tinggal dalam kandang koloni yang cukup besar,
namun tetap saja kami harus terbang mencari tempat makan yang telah disiapkan
sang penangkar. Tak ada yang janggal hari itu. Aku bermain dengan ayahku
seperti biasa di dalam glodok. Hingga siang hari ayahku modar-mandir keluar
masuk glodok dengan wajah yang belum pernah aku lihat. Hingga sore hari ayhku
bertengger di depan pintu glodok. Kenapa ayahku tak menemaniku bermain? Kenapa
dia hanya diam bertengger di depan glodok? Aku hanya terheran dengan keadaan
ini. Aku tak tahu apa yang terjadi.
Selepas
hari itu aku tak pernah lagi melihat wajah ibu. Kini hanya ayahku yang selalu
mencarikan aku makan. Sesekali dia mengajakku menengok keluar dari glodok.
Melihat kandang koloni nan besar ini. Aku melihat keluar, aku edarkan pandangku
kekanan dan kekiri. “Ayah, inikah kandang koloni?
Lebih besar dari glodok.” tanyaku yang terkagum dengan besarnya kandang koloni
ini. “Iya anak, ini belumlah seberapa jika esok kamu beruntung bisa keluar dari
kandang koloni ini. Kamu akan bertemu dengan dunia.” Ayahku memberikan jawaban.
Ia juga bercerita dalam kandang besar ini ada semacam taman. Disana ada sebuah
kolam yang berukuran limakali lipat dari ukuran glodok dan di
samping-sampingnya terdapat kotak makan serta tenggeran-tenggeran. Tempat yang
sangat indah untuk sepasang lovebird, maupun keluarga. Sumber air sebetulnya
tidak hanya disana, semisal air yang ada di depan glodokku, meski tak sebesar
dan sebersih yang ada di kolam taman.
Bulu-buluku sudah mulai tumbuh. Ayah
mengajarkanku untuk terbang, lebih tepatnya meloncat. Kalau saja malam tak
menyapa aku akan terus meloncat sampai aku bisa terbang dan kemudian menemukan
ibuku. Ayahku membawaku masuk ke dalam glodok, bersembunyi dari malam dan mendekapku
agar lekas menikmati bunga tidurku.
Kelihatanya
malam itu aku tertidur cukup lama. Tak seperti biasanya, seperti baru saja
memejamkan mata ayahku sudah membangunkanku. Mentari sudah bangun katanya. Dan
hari ini aku di bangunkan oleh mentari, bukan ayahku seperti hari kemarin.
Sinar mentari yang masuk ke dalam glodok memaksaku untuk membuka mata. Ku buka
dekapan ayahku, namun terasa berat. Aku bangunkan beliau, namun masih tetap
saja terpejam. Aku goyangkan badannya, aku teriak masih saja tidak bangun. Dan
cara yang terakhir aku menangis, namun tetap saja beliau tak membuka mata.
Hingga sore harinya penangkar mengambilnya. Entah mau di bawa kemana aku kurang
tahu.
Kata
ibu dan ayahku dahulu, penangkar adalah penentu nasib kita. Dia yang menguasai
rejeki, jodoh dan maut. Aku gigit, aku cakar. Namun dia tetap membawa ayahku
yang masih tidur. Tinggal aku sendiri di dalam glodok. Dengan ketakukan dan
kehilangan yang amat dalam.
Kenapa
mereka meninggalkanku? Apakah aku tak berarti buat mereka? Apakah mereka dengan
mudah melupakanku? Kepergian mereka membuatku goyah dan kehilangan arah. Aku kesana-kemari
tanpa arah tujuan, hidup hanya sekedar untuk makan dan minum.
Di
salah satu sudut koloni aku melihat gerombolan lovebird seusiaku belajar
terbang. Mereka melompat-lompat seperti aku dahulu ketika belajar terbang
dengan ayahku. Ada juga yang sudah bisa terbang beberapa meter. Perlahan-lahan
aku mendekat. Salah seekor di antara mereka mendekatiku. Kelihatanya dia lebih
muda dua minggu dariku, bulunya belum tumbuh terlalu banyak. Kami berkenalan
dan berbicara basa-basi layaknya burung yang baru saja kenal. Meraba satu sama
lain untuk lebih saling mengetahui. Dan hal terakhir pada hari itu adalah aku
di kenalkan kepada seekor guru di tempat itu dan di perbolehkan bergabung.
Ia
adalah seekor burung lovebird kuning bersih. Parasnya yang ayu, otaknya yang
cemerlang dan kekeannya yang panjang.
Burung dari trah atas, trah yang bekelas. Suaranya enak didengarkan, halus
selayaknya puteri solo. Tingkah lakunya pun menawan memikat hati. Seekor burung
yang bisa membuka pintu hati yang telah aku tutup rapat.
Iva,
begitu aku memanggilnya. Ia laksana hujan yang membawa berkah ditengah
kekeringan yang panjang, yang membangkitkan kematian. Ia selayaknya pemberi
harapan untuk jiwa yang sekarat. Mati oleh rasa sepi nan hampa dari hati.
Seperti
hari biasa aku minum, makan dan mandi, kemudian mengeringkan bulu-buluku dengan
sinar mentari sambil sesekali belajar berkekek.
dan segera terbang menuju kelompok belajar di kandang koloni sektor 3.
Disini adalah tempat belajar lovebird-lovebird uasia paud yang baru belajar
terbang, maupun yang baru saja bisa terbang. Pelajaran selain terbang atau savety flight adalah mengenal kesehatan
tubuh, mengenal pangan, dan beberapa ilmu lain.
Disinilah
aku bertemu dengan Iva, seekor burung berwarna kuning yang mendatangiku ketika
aku pertama kali melihat akademi. Aku kemudian masuk di akademi sektor 3. Dan
kebetulan aku satu kelas denganya sebelum nanti akan ada penjurusan sesuai
dengan kemampuan siswa.
Mulai
saat itu aku sering sekali bersama Iva. Belajar terbang bersama, makan bersama,
belajar berkekek bersama dan selalu saja dia selalu lebih unggul dariku. Ia
adalah seekor lovebird yang pandai. Aku selalu dan selalu saja berada di
belakang Iva. Hal ini memotivasiku untuk selalu belajar, belajar dan belajar
agar aku bisa lebih darinya. Minimal bisa melampaui diriku di hari sebelumnya.
Aku tak mau sebagai seekor burung jantan kalah dengan seekor burung betina.
Detik,
menit, berlalu. Waktu demi waktu aku jalani kebanyakan bersamanya. Kami tumbuh
bersama. Hingga bulu-bulu ini sudah hampir sempurna, beberapa waktu lagi kami
akan masuk kepenjurusan dan kemudian lepas dari akademi. Tujuan utama lulus
dari akademi adalah bisa terbang sesuka hati. Dan tempat yang ingin selalu aku
tuju adalah tempat yang dimana Iva berada.
Sejak
kapan aku tak mengerti. Namun didekat Iva adalah sesuatu yang membuatku nyaman.
Terbang tipis-tipis di pinggir kolam kandang, bermain dengan ikan di dalam
kolam, berlindung di bawah pohon menghindari hujan, menantang panas mentari dan
terbang di tengah-tengahnya. Badan ini selalu ingin dekat bersanding dengannya.
Saat
penjurusan ia masuk kedalam pengenalan pangan dimana ini adalah jurusan yang
sangat sulit untuk masuk. Hanya burung-burung yang pandai yang bisa masuk
jurusan ini. Dan aku masuk kedalam kelas safety
fligh dimana ini kelas yang paling mudah di dapatkan. Hal ini juga memaksa
aku dan Iva tidak dalam satu ruang lagi.
Tak
ubah dua ekor burung yang sedang di mabuk asmara. Kami tak pernah kekurangan
akal untuk selalu bertemu. Saling menunggu kelas usai dan kemudian terbang
menjelajahi kandang koloni. Bertengger di pohon dekat akademi sambil makan
milet. Mencicipi kesegaran air yang mengalir dari penangkar ke dalam kolam.
Atau sekedar bercanda di bawah pohon. Seakan-akan tak ada burung lain, seakan
tak akan ada yang mampu memisakan kami.
Keyakinan
semakin kuat. Kami terus belajar dan belajar, memperbaiki diri menyongsong
kehidupan yang sesungguhnya. Seperti biasa aku kalah untuk kesekian kalinya,
dalam banyak hal dari Iva. Ia berhasil lulus lebih cepat dari akademi. Dan aku
harus susah payah kembali mengejar yang sesungguhnya sudah teramat jauh di
tinggalkan.
Dan
disinilah aku merasa sangat beruntung. Ia selalu saja bisa menenangkan hati
ketika aku tengah gundah. Dengan lembut ia suntikkan nada-nada lembut yang bisa
membakar keyakinan dan menambah keyakinan bahwa aku bisa. Bisa untuk terbang
lebih jauh, berkekek panjang dan
mempunyai kharisma. Aku dekap ia, dan tak akan aku lepaskan. Dua minggu setelah
Iva aku menyusul Iva, aku lulus dari akademi.
Musim
kawin tiba, lovebird-lovebird berkekek, berciuman,
bercumbu sebelum akhirnya kawin. Dan hari itu aku mencari Iva, aku tunggu ia di
tenggeran pinggir kolam tempat kami biasa menghabiskan waktu. Kebahagiaan ini
tak terkira, trlah lama aku menantikan musim ini. Dimana aku bisa memiliki
seutuhnya seekor yang sangat aku yakini sedari ia menemaniku bahwa ia adalah
jodohku. Aku membayangkan Iva akan datang untukku, bercengkrama sebentar
kemudian dilanjutkan dengan bercumbu. Bukan hanya badan, namun juga rasa.
Dari
kejauhan Iva terbang dengan tergagap-gagap. Panik dikejar sang penangkar. Tanggap
aku berusaha terbang untuk menyelamatkan Iva. Belum jauh aku terbang, Iva
berteriak kencang. Di depan mata Iva di tangkap sang penangkar, di genggam
dalam tangannya dibawa keluar kandang koloni. Aku masih mengejar, terus
mengejar. Teriakan Iva semakin menjadi, saat ia sampai di pintu kandang koloni.
Dengan nafas terngah-engah, aku bertengger di pintu kandang joloni yang sudah
tertutup kembali. Aku lihat ia di masukkan ke dalam sangkar yang lebih kecil,
dengan sebuah glodok dan seekor pejantan.
Tiga
hari aku bertengger di pintu itu, berusaha membuka pintu yang ukuranya
beribu-ribu kali lipat dari badanku. Aku gigit sekuat tenaga pintu itu, aku
cakar, aku dobrak tak kupedulikan paruhku ngiili, kukuku patah, dan tak ku
hiraukan badan ini mulai mengeluarkan darah. Namun tak sedikitpun pintu itu
bergerak. Sementara di dalam kandang kecil Iva masih terus dirayu dan di bujuk
si jantan, agar ia mau meladeni nafsu birahi sang jantan.
Tergeragap
aku bangun. Bisa-bisanya aku tertidur di saat situasi genting seperti ini?
Kelalahan kah? Ah itu bukan alasan untukku tidur di saat seperti ini. Ku
gerakkan badanku untuk mendapatkan fokusku kembali. Ku ulangi lagi usahaku
membuka pintu kandang koloni. Aku sudah banyak kehilangan burung-burung yang dekat
denganku, dan aku tak mau kehilangan kembali lovebird yang aku sayangi.
Iva
adalah lovebird yang bisa setara dengan kedudukan orangtuaku di hatiku. Begitu
spesial, begitu berharga. Ia yang mampu membangkitkanku dalam keterpurukan. Ia
yang mau menuntunku disaat aku tertatih dalam berjalan. Ia yang selalu
mengajariku segala hal. Ia yang mau merawatku ketika aku sakit. Ia, ia, ia, ia
dan ia yang selalu di sampingku dalam segala keadaan. Dalam senang dan dalam
susah.
Si
jantan tertawa lebar. Aku terpaku melihat kedalam sangkar kecil. Iva pasrah
dicumbu sang jantan. Aku semakin brutal menggigit pintu kandang koloni,
mendobraknya lebih keras. Tak dapati apa-apa kecuali aku menjadi tontonan
sekandang koloni. Dan aku terpaku, dan hampir mati saat aku melihat Iva di
kawin oleh sang jantan. Serasa nyawaku terbang keatas dan badanku jatuh kebawah
dengan kecepatan tinggi.
Gedebuk!
Aku jatuh dari kasur empukku. Ku gerayangi tangan dan tubuhku, semua masih
normal. Tanganku tak menjadi sayap, dan badanku tak tumbuh bulu. Aku masih
manusia. “Kenapa aku bermimpi menjadi burung?”.
Aku
berjalan kedapur, membuat secangkir kopi panas. Menuju ke teras ditemani
harumnya biji kopi yang ku seduh. Setidaknya aku ingin meregangkan otakku,
terlebih hatiku. Aku duduk di bangku teras, dan membaca kembali surat undangan
pernikahan. “Iva dan Jono, minggu depan resepsinya.”. Aku beridiri menuju ke
sangkar sembil membawa surat undangan tersebut. “Hei, si hitam. Apakah nasibmu
sama denganku? Di tinggal nikah oleh seseorang yang ku yakini adalah jodohku
yang di kirim oleh Tuhan? Kau memberitahuku lewat mimpi? Buat apa?” aku bicara
dengan lovebird hitam di dalam sangkar. Dia hanya bisa mengawin tenggeran,
orang menyebutnya dengan gestang.
“Apakah
kau segila itu hei lovebird hitam? Apakah kau sangat mencintai dirinya?”. Kau
ini jantan, seharusnya kau bisa memikat betina-betina lain dengan kekeanmu, minimal dengan pesonamu.
Bukannya malah suka ngawin tenggeran. Baiklah, besok aku akan menjadikanmu kado
istimewa untuk Iva. Dan aku tak akan berakhir mengenaskan seperti dirimu. Aku
akan bangkit. Seperti yang aku katakan dulu ke Iva, “Selama kamu bahagia, aku
juga akan bahagia.”. dan mulai dari sekarang aku akan mencari kebahagianku, dan
itu tidak berada dalam dirimu.
“Selamat menempuh hidup baru Iva dan
Jono, barakallah wa baraka alaika wajama’a bainakuma fii khair. Semoga menjadi
keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah, aamiin.” – Sulistyo
Daru
~Pras~
0 Komentar