Di pinggiran Delhi, Harpal Dagar sudah lama tahu rasanya bergantung penuh pada cuaca. “Sering kali, kami kehilangan hasil panen karena kondisi yang tidak terduga,” ujarnya. Namun lima tahun lalu hidupnya berubah ketika perusahaan tenaga surya Sun Master datang menawarkan kemitraan yang jarang terdengar, memasang panel surya di atas lahan pertaniannya.
Kesepakatan 25 tahun itu mengizinkan Dagar terus menanam kunyit di bawah deretan panel yang dipasang setinggi 3,5 meter. Sebagai imbalan, ia mendapat bayaran tahunan sekitar 1.200 dolar AS per acre plus 170 dolar per bulan untuk biaya operasional. “Penghasilan saya naik tiga kali lipat, dan saya tidur nyenyak tanpa stres akibat perubahan iklim atau gagal panen,” katanya puas.
Model seperti ini dikenal sebagai agrivoltaik, pertanian di bawah panel surya. Bagi India, di mana lebih dari 55 persen penduduk bergantung pada pertanian dan musim hujan kerap tak menentu, konsep ini dianggap solusi ganda, yakni bisa menghasilkan listrik terbarukan sekaligus menstabilkan pendapatan petani.
Potensi Besar, Pertumbuhan Masih Lambat
Meski menjanjikan, adopsi agrivoltaik di India masih terbilang awal. Federasi Energi Surya Nasional India (NSEFI) mencatat baru sekitar 40 proyek yang beroperasi. Bandingkan dengan Tiongkok yang sudah menjalankan lebih dari 500 proyek.
“Agrivoltaik mengurangi kebutuhan irigasi, melindungi tanaman dari tekanan panas, dan menstabilkan pendapatan dengan mendiversifikasi aliran pendapatan,” jelas Subrahmanyam Pulipaka, CEO NSEFI. “Untuk wilayah tadah hujan dan rentan terhadap iklim, model ini dapat memainkan peran penting dalam adaptasi iklim.”
Tetapi tak semua tanaman cocok hidup di bawah panel. Menurut Vivek Saraf, pendiri sekaligus CEO SunSeed, perusahaan agrivoltaik berbasis Delhi—tata letak panel dapat mengurangi cahaya matahari hingga 30 persen. “Yang paling efektif adalah tanaman bernilai tinggi dengan kebutuhan cahaya sedang atau rendah, seperti sayuran berdaun hijau, rempah seperti kunyit dan jahe, atau beberapa jenis bunga,” terangnya.
Biaya dan Kontrak Jadi Kendala
Kendala utama lain adalah biaya. Agar lahan tetap bisa ditanami, panel harus dipasang lebih tinggi dari sistem tenaga surya konvensional, sehingga biaya pemasangan 20–30 persen lebih mahal. “Petani kecil tidak dapat memiliki sistem ini. Mereka tidak punya modal atau selera risiko,” kata Saraf.
Pemerintah diminta turun tangan dengan memberikan subsidi. Manu Srivastava, pejabat yang menangani proyek agrivoltaik di Madhya Pradesh, menilai tantangan terbesar ada pada kontrak jangka panjang. “Sewa 25 tahun membutuhkan kewajiban yang jelas dan perlindungan bagi kedua belah pihak. Penegakan kontrak di India masih menjadi kendala,” tegasnya. Jika harga sewa lahan melonjak sementara biaya struktur tinggi, “sistem ini menjadi tidak layak,” tambahnya.
Inovasi dan Dukungan Pemerintah
Beberapa perusahaan mencoba menutup celah tersebut. SunSeed, misalnya, menawarkan dua opsi: petani bisa tetap mengelola lahannya dengan gaji tetap atau menyerahkan seluruh pengelolaan ke perusahaan. “Model kami memastikan petani tidak terpapar risiko apa pun. Jika panen gagal atau harga jatuh, kerugiannya kami tanggung,” jelas Saraf. Mereka juga mengembangkan perangkat lunak simulasi untuk menilai cahaya, panas, hingga prediksi hasil panen berdasarkan konfigurasi panel.
Anand Jain, petani yang menanam tanaman obat, sudah membuktikan peluangnya. Pada 2024, ia memasang panel surya berkapasitas 4,5 megawatt di lahan 14 hektar miliknya. “Saya berhasil dengan stroberi dan tomat, meski kembang kol tidak sebaik itu,” katanya. Proyek senilai 2,27 juta dolar AS itu dibiayai pinjaman bank dan dukungan pemerintah.
Jalan Panjang Menuju Skala Besar
Meski contoh sukses mulai muncul, India masih tertinggal dibanding Tiongkok dalam jumlah proyek agrivoltaik. Srivastava menilai kemitraan kuat antara pemerintah dan swasta menjadi kunci. “Jika kepentingan ekonomi petani terlindungi, tanaman yang tepat dipilih, dan kontraknya jelas serta adil, tidak ada alasan India tidak bisa memimpin,” ujarnya.
Bagi petani seperti Harpal Dagar, manfaatnya sudah terasa. Ia tetap memanen kunyit sambil mendapat penghasilan tetap dari listrik yang dihasilkan panel surya. “Bagaimana saya bisa mengeluh?” ucapnya sambil tersenyum.
Di tengah ancaman perubahan iklim dan fluktuasi harga pangan, agrivoltaik mungkin belum menjadi arus utama. Namun pengalaman Dagar menunjukkan satu hal, ketika pertanian dan energi terbarukan berjalan beriringan, peluang ketahanan pangan dan pendapatan yang stabil bukan sekadar mimpi.

 
 
 
 

0 Komentar