6 Cara Mengusir “Financial FOMO” agar Dompet dan Pikiran Tetap Sehat

Pernah merasa tertinggal karena teman atau rekan kerja terlihat makin kaya, sementara portofolio investasi Anda terasa jalan di tempat? Rasa takut ketinggalan peluang ini dikenal sebagai financial FOMO (fear of missing out). Jika dibiarkan, ia bisa mendorong keputusan gegabah: membeli saham di puncak harga, berutang untuk spekulasi, atau terus membandingkan diri dengan orang lain.

Fenomena ini kian terasa saat pasar sedang bullish—ketika berita tentang startup teknologi, kecerdasan buatan, dan lonjakan harga saham bertebaran di mana-mana. Namun, ada cara untuk menahan godaan tersebut. Berikut enam langkah praktis yang bisa diterapkan siapa saja.

1. Bangun Portofolio Inti dan Jangan Sering Diutak-atik
Pondasi utama melawan FOMO adalah menyadari bahwa Anda sudah memiliki bagian dari masa depan. Investasi di indeks saham seperti S&P 500, reksa dana pasar luas, atau properti memberi eksposur ke pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Ketika fondasi portofolio kuat—misalnya gabungan saham global, properti, dan sedikit aset alternatif—Anda tak perlu panik mengejar setiap tren. Bahkan jika gelombang AI melahirkan banyak miliarder baru, kenaikan nilai properti dan indeks saham akan tetap memberi imbal hasil.

2. Buat “FOMO Fund” Kecil
Daripada menahan dorongan ikut tren, sisihkan dana khusus spekulasi, misalnya 5% dari total aset. Uang ini bisa dialokasikan untuk saham teknologi, kripto, atau peluang jangka pendek lain. Jika berhasil, keuntungannya bonus; jika rugi, tidak mengguncang keuangan utama. Dengan cara ini, Anda tetap “ikut pesta” tanpa mempertaruhkan masa depan.

3. Otomatiskan Investasi
FOMO sering muncul karena keputusan investasi terasa opsional dan emosional. Solusinya: otomatisasi. Dengan metode dollar-cost averaging—menyetor dana secara rutin ke reksa dana, saham, atau ETF—Anda berinvestasi teratur tanpa harus memantau pasar setiap hari.

Misalnya, menabung Rp2 juta per bulan ke reksa dana indeks akan terkumpul Rp240 juta dalam 10 tahun, tanpa pusing memprediksi naik turunnya pasar.

4. Hitung Biaya Kesempatan
Sebelum membeli saham panas atau mengikuti tren baru, tanyakan: “Apa yang saya korbankan?” Apakah dana tersebut seharusnya untuk DP rumah, pendidikan anak, atau tabungan darurat?

Pertimbangkan juga sisi sebaliknya: apa yang Anda tinggalkan hari ini demi investasi yang belum tentu berhasil? Pertanyaan sederhana ini membantu menjaga keseimbangan antara ambisi finansial dan kualitas hidup.

5. Tentukan “Cukup” Versi Anda

FOMO muncul ketika target finansial tidak jelas. Jika standar Anda hanya “lebih banyak”, maka Anda tidak akan pernah puas karena selalu ada orang dengan rumah lebih besar atau saldo lebih tebal.

Tentukan angka yang membuat Anda aman dan nyaman—misalnya saat pendapatan pasif sudah menutupi biaya hidup bulanan. Setelah itu, setiap rupiah tambahan hanyalah bonus yang bisa diinvestasikan kembali atau dinikmati tanpa rasa bersalah.

6. Ubah Lingkungan Sosial
Lingkungan yang kompetitif, seperti kota besar pusat teknologi atau keuangan, sering memicu perbandingan berlebihan. Jika memungkinkan, ciptakan jarak: liburan panjang, pindah ke kota yang lebih tenang, atau sekadar menghabiskan waktu dengan teman yang tak selalu membicarakan saham dan startup.

Mengurangi “kebisingan” finansial membuat Anda lebih fokus pada hal penting—keluarga, kesehatan, dan kebahagiaan—bukan hanya saldo rekening.

Intinya
Pasar keuangan akan selalu berayun antara euforia dan kepanikan. Akan selalu ada orang yang terlihat lebih sukses. Tapi dengan portofolio inti yang kuat, dana kecil untuk spekulasi, investasi otomatis, dan definisi “cukup” yang jelas, FOMO tidak akan mengendalikan hidup Anda.

Alih-alih mengejar setiap peluang, fokuslah pada strategi jangka panjang dan kualitas hidup. Karena pada akhirnya, kebebasan waktu dan ketenangan pikiran jauh lebih berharga daripada mengejar cuan tanpa batas.

Posting Komentar

0 Komentar