Dari Fiksi ke Friksi: Ketika Simbol Pop Dianggap Menantang Kekuasaan

Agustus yang Tak Biasa: Ketika Bendera Bajak Laut Berkibar di Tengah Semarak Merah Putih
Pak Prabowo, presiden kita selalu menggaungkan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang besar. Namun anehnya negara besar ini bisa gaduh dengan sebuah lambang fiksi bajak laut dalam icerita One Piace. Di bulan Agustus biasanya Indonesia diselimuti dengan gagap gempita peringatan kemerdekaan, mulai dari pengibaran bendera merah putih di sepanjang jalan, pengecatan gapura-gapura, dan berbagai ornamen kemerdekaan lain. Bahkan biasanya sopir-sopir truk juga ikut memeriahkan dengan memasang bendera merah putih di spion, atau bagian lain truknya.

Namun Agustus kali ini sedikit berbeda, muncul fenomena dimana beberapa sopir truk justru memasang bendera bajak laut dari kartun One Piace, lebih tepatnya lambang bajak laut dari Kru Straw Hat Pirates atau Topi Jerami. Gerakan kecil ini entah kenapa bisa cepat membesar dan menimbulkan percakapan hangat di ruang-ruang publik dan sosisal media, baik pro maupun kontra. Bahkan elit-elit pejabat tak luput berkomentar mengenai fenomena ini. Sejumlah pejabat tinggi menanggapi dengan keras, menganggap pengibaran bendera ini sebagai bentuk provokasi atau ancaman persatuan.

Mengenal Topi Jerami dan Mengapa Mereka Selalu Melawan Keuasaan
Mari kita mengenal tentang Bajak Laut Topi Jerami, dan kisahnya di One Piece, karya dari komikus terkenal Eiichiro Oda. Cerita ini bermula dari seorang bocah laki-laki bernama Luffy. Ia bercita-cita menjadi bajak laut, dan kemudian setelah remaja ia mulai berlayar dan mengumpulkan teman untuk menemukan harta karun legendaris, One Piece. Dalam perjalanan itu, dia singgah di berbagai tempat, dan di setiap tempat mempunyai kisah dan cerita tersendiri.

Perlu diketahui bahwa Luffy bukan bajak laut dalam pengertian umum, dia bukan perampok, bukan perusak. Ia justru sosok yang selalu berdiri di pihak mereka yang lemah. Ia mengibarkan bendera bajak laut, tapi yang ia lawan bukan warga biasa, melainkan para penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan: raja lalim, korporasi licik, hingga pemerintah dunia yang penuh tipu daya.

Dari Alabasta hingga Wano: Deretan Cerita (Arc) yang Menelanjangi Kekuasaan Lalim
Di Arc Kerajaan Alabasta, Luffy dan Krunya membantu putri Vivi menggagalkan kudeta yang dipimpin oleh Crocodile, seorang penguasa bayangan yang memanipulasi rakyat demi ambisi pribadi. Di Arc langit Skypiea, mereka menantang “dewa” Enel yang menyiksa rakyatnya atas nama kekuasaan mutlak. Di Arc Dressrosa, mereka menggulingkan Doflamingo, seorang penguasa boneka yang memperbudak dan memanipulasi seluruh negeri dengan kekejaman.

Di Arc Wano, Luffy dan Kru menghadapi rezim korup Shogun Orochi yang bekerja sama dengan Kaido, makhluk terkuat di dunia One Piace. Sejarah dimanipulasi, nama-nama pahlawan dihapus, dan rakyat dicekoki propaganda. Sementara ibu kota hidup dalam kemewahan, daerah lain menderita kelaparan dan pencemaran. Anak-anak memakan limbah beracun, orang tua dijadikan budak tambang. Ketimpangan merajalela, dan kekuasaan dijaga lewat rasa takut. Di tengah keputusasaan itu, bendera Topi Jerami dikibarkan, sebagai simbol perlawanan rakyat yang ingin merebut kembali negeri dan martabat mereka

Simbol Perlawanan dan Kritik Sosial yang Terbungkam
Lucunya, di mata Pemerintah Dunia, Luffy tetap dicap kriminal. Ia dianggap ancaman, dicari, dan dilabeli bajak laut berbahaya. Padahal, di balik semua kekacauan yang ia tinggalkan, selalu ada satu hal yang tertinggal, yakni harapan. Rakyat yang tertindas bisa tersenyum kembali. Negeri yang remuk bisa bangkit. Dan yang paling penting, kebenaran bisa muncul dari balik tirani.

Mungkin karena itulah kenapa bendera Topi Jerami dikibarkan. Bukan karena mereka tidak cinta merah putih, tapi karena mungkin mereka belum puas dengan kinerja pemerintahan.

Di negeri kita, kegaduhan bukan lagi hal luar biasa. Setiap minggu, bahkan kadang setiap hari, muncul keputusan-keputusan yang memantik tanya: “Apakah ini benar-benar dipikirkan dengan matang dan penuh pertimbangan?”

Mari kita lihat berbagai kebijakan yang memicu pertanyaan di masyarakat, dari subsidi yang tak tepat sasaran, revisi undang-undang yang kontroversial, hingga keputusan-keputusan yang terkesan terburu-buru. Semuanya menimbulkan pertanyaan: “Apakah ini untuk rakyat?.

Negara Perlu Mendengar
Bendera One Piece yang dikibarkan sebagian masyarakat mungkin bukan sekadar lambang dari budaya pop semata. Ia bisa jadi cerminan keresahan yang tak lagi tertampung oleh kanal formal. Sebuah simbol ketidakpuasan terhadap arah kebijakan negara, bukan karena mereka tidak cinta tanah air, bukan karena mereka ingin menggantikan merah putih, melainkan karena mereka ingin melihat Indonesia menjadi lebih adil bagi semua, terutama bagi rakyat kecil.

Mereka bersuara karena peduli. Karena ingin melihat negara hadir bukan hanya sebagai penguasa, tapi sebagai pelindung dan pengayom. Sayangnya, yang kerap muncul justru narasi pembungkaman, atau label “memecah belah bangsa”. Padahal suara-suara seperti ini seharusnya dijawab dengan refleksi, bukan represi. Dengan perbaikan kebijakan, bukan penebalan kecurigaan. Dengan keberpihakan pada rakyat, bukan pengabaian atas jeritan mereka.

Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang anti kritik, melainkan yang mau mendengar dan berbenah. Maka mari terus berpikir, bersuara, dan bermimpi, seperti Luffy dan kawan-kawannya, bukan untuk jadi pahlawan, tapi agar kita tidak kehilangan kemanusiaan.

Posting Komentar

0 Komentar