Kata orang, aku ini wanita penggoda. Kalau kata laki-laki aku ini bangsat. Statement ini aku dapat beberapa bulan terkhir. Tapi satu hal yang mereka sepakati dariku, aku adalah cantik. Tubuh tinggi, kulit putih, kata orang aku ini seperti gitar sepanyol. Kalau dalam kelas yang di umpamakan ayam, aku ini ayam bangkok kelas kontes. Banyak perempuan yang mendambakan anatomi tubuhku, kata mereka sempurna. Namun, apa yang mereka inginkan tidak begitu aku sukai. Tak nyaman.
Banyak laki-laki yang selalu saja menggoda. Menjadi pusat perhatian cowok mata keranjang, dan hal lain yang tak disukai orang kebanyakan. Bukan aku tak tertarik dengan laki-laki. Itu terbukti dari stigma yang melekat padaku, perempuan yang mudah mendapatkan laki-laki. Layaknya seorang insan yang ditulis kitab, disebutkan bahwa insan diciptakan berpasangan. Serta telah menjadi hasrat insan untuk saling mengasih dan mencintai. Begitu pula diriku, beberapa kali aku mencoba mencari apa yang telah dijanjukan itu.
Pernah kala masih berseragam putih abu-abu, aku telah menemukan seorang yang kusebut cinta. Seorang yang rupawan, tinggi dan gagah. Ibarat seorang puteri yang bertemj dengan pangeran, sebuah hubungan yang digadang akan berakhir bahagia. Namun kenyataannya, dia membuatku tak nyaman. Selepas masa SMA ia diterima di sebuah perusahaan ternama di ibubkota. Kami terpaksa harus melakukan hubungan jarak jauh. Sekilas dia nampak baik nan penuh kasih sayang. Berbeda apa yang orang lihat dengan apa yang aku rasakan. Sang pengeran tak pernah pantas disebut pangeran. Dia lebih tepat disebut bedebah. Terlalu sering menyakiti perasan. Keluar dari mulutnya kata-kata kasar, dan tak jarang dia mencaci maki diriku. Menurutku, aku tak ada salah. Aku masih setia dengan dia, aku hanya meempunyai hubungan sosial dengan orang lain.
Wajarkan seseorang punya hubungan sosial? Manusia bukan hanya makhluk individu, tapi juga sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Terlepas hubungan itu dengan perempuan atau laki-laki.
Aku bukanlah seorang yang suka di kekang, bukan tak mau di atur. Namun sekiranya apa yang aku kerjakan masih dalam tahap wajar aku tak suka untuk di atur. Tiap kali kita bicara melalui pesawat telefon, selalu berakhir dengan adu mulut. Sudah tak terhitung lagi telah berapa kubik air mata ini tercecer bercucuran. Aku selalu tak terdaya.
Aku mencoba menguatkan hatiku, aku ceritakan semuanya ke ibuku. Tempat yang nyaman untuk berbagi beban hidup. Meskipun dipundaknya telah bertumpuk-tumpuk menggunung beban hidupnya sendiri, ia tetap hati menerima segala curahan hatiku.
Selain ibu, orang yang menguatkanku adalah Fitri. Temen sekelas yang sudah melebihi saudara sendiri. Terkadang aku juga iri dengan Fitri. Asmaranya terlalu indah untuk aku bandingkan deenganku. Dia mempunyai seorang pria yang mampu membuat dia bahagia.
Aku kisahkan apa yang menimpaku kepada sahabatku. Air kembali membanjiri pipiku. Ia memelukku, dan berucap sabar. Semua orang mudah dalam berucap sabar, tapi belum pasti bisa sempurna sabar jika ia yang tengah dalam masalah. Namun paling tidak, pelukannya dapat menenangkan jiwaku.
Entah kenapa selain ibu dan sahabatku, aku juga bercerita terhadap Doni. Seorang teman yang dipertemukan karena tugas kuliah. Dari paras bisa dikatakan dia biasa-biasa saja. Namun aku akui dia seorang yang baik. Meskipun itu hanya sebatas pengakuanku yang tidak berlabel pemerintah, namun aku yakin banyak yang setuju. Toh juga mana mungkin negara sempat menilaimu? Negara lebih suka membuat kegaduhan dengan membuat ocehan-ocehan mengenai penggunaan pakaian lebih tepatnya cadar, atau bahkan mengatur tentang diklat calon pengantin yang sebenarnya jtu lebih keranah privat warga negara.
Aku bukanlah seorang yang mudah untuk cerita terhadap orang. Namun, ketika aku nyaman, aku akan ceritakan semua bebanku. Dan entah apa yang membuat aku percaya kepadanya, entah apa yang membuatku nyaman bercerita tentang dia. Setelah selesai ceritaku, selalu saja dia bisa membuatku kembali tersenyum.
Sakit dan frustasi yang aku rasa sedikit berkurang. Bercengkrama dengan hidup yang benar hidup. Sesekali pula aku bercengkrama dengan Doni. Meskipun dia terkesan cuek, namun dia peduli deengan masalahku. Meskipun sekedar basa-basi dia mampu untuk memotivasi. Menarik anak ini, beda dengan laki-laki lain yang selalu saja tertarik kepadaku.
Semakin lama kami semakin dekat, dan semakin aku masa bodoh dengan yang ada di jauh sana. Bertambah tak peduli ketika dia berani mengata-ngatai orangtuaku. Dan saat itu pula aku anggap semua telah berakhir.
Kunikmati kedekatanku dengan Doni, hingga orang-orangpun terkejut dengan kedekatan ini. Doni seorang yang tak banyak melirik perempuan, akhirnya bisa takluk olehku. Satubulan Doni membuatku nyaman, sebelum akhirnya aku terusik pula dengan omongan-omongan orang. Lama-lama aku merasa Doni bukanlah seseorang yang selama ini aku cari.
Perlahan-lahan aku menjauh dari Doni. Aku coba membuat dia marah, syukur-syukur dia benci, namun tak berhasil. Kadang aku cari kesalahannya, namun tak jua aku temukan. Tak sama dengan laki-laki biasanya. Dia berbeda.
Justru aku yang kelimpungan, diam-diam dia menyadari siasatku. Tak mau kalah, aku dekati orang lain. Yang lebih gagah dan lebih kaya dari dia.
0 Komentar